EKSISTENSI JALUR NON KARIER DALAM SELEKSI HAKIM AGUNG

Penulis

  • Tabah Sulistyo Magister Hukum Universitas Indonesia

DOI:

https://doi.org/10.29123/jy.v14i2.478

Kata Kunci:

professional path, obiter dicta, ratio decidendi

Abstrak

ABSTRAK

Perbedaan pandangan atas bagian pertimbangan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XIV/2016 terkait Mahkamah Agung sebagai penentu latar belakang pendaftar yang boleh mengikuti proses seleksi hakim agung, mengerucut pada pertanyaan apakah pertimbangan tersebut merupakan ratio decidendi yang mengikat atau obiter dicta yang dapat dikesampingkan. Dalam surat permintaan Mahkamah Agung, latar belakang pendaftar untuk kamar selain tata usaha negara, dimintakan berasal dari hakim karier. Pada pelaksanaannya Komisi Yudisial tetap menerima jalur non karier untuk semua kamar hakim agung, karena Komisi Yudisial tidak merasa terikat dengan bagian pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi a quo. Diskursus utama dalam kasus a quo adalah permasalahan keberadaan jalur non karier dalam seleksi hakim agung, dalam bingkai civil law yang notabene menganut sistem karier. Permasalahan kedua dari kasus ini adalah kedudukan pertimbangan tersebut, apakah sebagai ratio decidendi atau sebagai obiter dicta. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XIV/2016 dipilih secara sengaja (purposive) dikarenakan putusan tersebut membahas keberadaan jalur non karier dalam proses seleksi hakim agung. Penelitian ini adalah penelitian hukum normative, untuk menghasilkan rekomendasi preskriptif analitis, data sekunder yang digunakan dianalisis secara kualitatif untuk menawarkan solusi atas permasalahan metode seleksi hakim agung, serta memberikan solusi atas permasalahan mengikat atau tidaknya pertimbangan Mahkamah Konstitusi. Kesimpulan dari penelitian ini bahwa pertimbangan Mahkamah Konstitusi a quo hanya bersifat obiter dicta, karena bukan menyangkut pokok perkara yang diujikan, sehingga pertimbangan Mahkamah Konstitusi itu tidak mengikat, bahkan akibat hukumnya tidak memengaruhi kewenangan Komisi Yudisial baik secara teori maupun praktiknya.

Kata kunci: jalur non karier; obiter dicta; ratio decidendi.


ABSTRACT

Part of the consideration of the Constitutional Court Decision Number 53/PUU-XIV/2016 has led to a dispute regarding the role of the Supreme Court to determine the background of the candidates who can join the selection process for Supreme Court justice. A question then emerges whether this consideration is a binding ratio decidendi or obiter dicta that can be disregarded. In the Supreme Court letters regarding vacancy of Supreme Court justices stated that except for the administrative chamber, the candidates are determined to be from judges (career path). In practice, the Judicial Commission continues to accept candidates from professional/non career paths for all chambers because Judicial Commission does not perceive the consideration as binding. The main problem discussed in this case is the existence of a professional path in the selection for Supreme Court justice within the civil law framework which in fact adheres to a career system. The second issue of this case is whether the consideration is a ratio decidendi or just an obiter dicta. The Decision Number 53/ PUU-XIV/2016 is intentionally chosen since it discusses the existence of a professional path in the Supreme Court justice selection process. This study is a normative legal research to produce prescriptive analytic recommendation, where all secondary data were qualitatively analyzed to offer a solution to a problem in the Supreme Court justice selection method as well as a solution to the question whether the aforementioned consideration is binding or not. The study concludes that the aforesaid consideration of the Constitutional Court Decision is only an obiter dicta since it is irrelevant to the main problem which was reviewed. Therefore, the consideration is not binding, even its legal consequence does not affect the authority of Judicial Commission both theoretically and practically.

Keywords: professional path; obiter dicta; ratio decidendi.

Referensi

Buku

Amsari, F. (2018). Konstitusional seleksi hakim sebagai pejabat negara, dalam Bunga Rampai: Meluruskan arah manajemen kekuasaan kehakiman. Jakarta: Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial RI.

Asshiddiqie, J. (2006). Sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara. Cetakan ketiga. Jakarta: Konstitusi Press.

Azhari, A. F. (2020). Antara Dewan Yudisial dan Komisi Yudisial. Yogyakarta: Gentha Publishing.

Busroh, A. D. (2018). Ilmu negara Jakarta: Bumi Aksara.

Djohansyah, J. (2008). Reformasi Mahkamah Agung menuju independensi kekuasaan kehakiman. Jakarta: Kesaint Blanc.

Fakultas Hukum Universitas Pasundan [FH UNPAS]. (2015). Naskah Akademis RUU Jabatan Hakim. Bandung: FH UNPAS.

Harman, B. K. (2010). Tantangan KY dalam mewujudkan peradilan bersih, dalam Bunga Rampai: Reformasi peradilan dan tanggung jawab negara. Jakarta: Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial RI.

Mertokusumo, S. (2006). Penemuan hukum sebuah pengantar. Yogyakarta: Liberty.

Muchtar, Z. A. (2019). Lembaga negara independen, dinamika perkembangan dan urgensi penataannya kembali pasca amandemen konstitusi. Cetakan ke-3. Depok: Rajawali Pers.

Pompe, S. (2012). Runtuhnya institusi Mahkamah Agung. Jakarta: Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan.

Rishan, I. (2019). Kebijakan reformasi peradilan pertarungan politik, realitas hukum, & egosentrisme kekuasaan. Yogyakarta: FH UII Press.

Jurnal

Alfath, T. P. (2019, Desember). Eksekutabilitas putusan Mahkamah Agung terhadap pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Daerah: Kajian Putusan Nomor 65P/HUM/2018. Jurnal Yudisial, 12(3), 287-303.

Garoupa, N., & Ginsburg, T. (2009). Guarding the guardians: Judicial councils and judicial independence. Source: The American Journal of Comparative Law, 57(1), 103-134.

Kurniawati, I., & Liany, L. (2019). Kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai negative legislator dalam pengujian undang undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Jurnal Adil, 10(1), 111-135.

Perez, A. T. (2018). Judicial self government and judicial independence: The political capture of the general council of the Judiciary in Spain. German Law Journal, 19(7), 1769-1800.

Rishan, I. (2016). Redesain sistem pengangkatan dan pemberhentian hakim di Indonesia. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, 23(2), 165-185.

Rohanawati, A. N. (2018, Desember). Kesetaraan dalam perjanjian kerja dan ambiguitas pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi: Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU/XV/2017. Jurnal Yudisial, 11(3), 267-289.

Samanta, D. (2021, April). Difference between obiter dicta and ratio decidendi. Pen Acclaim Journal. 15, 1-5.

Taufik, G. A. (2014, Desember). Pembatasan dan penguatan kekuasaan kehakiman dalam pemilihan hakim agung. Jurnal Yudisial, 7(3), 295-310.

Tyler, C. W. (2020). The adjudicative model of precedent. The University of Chicago Law Review, 87(6), 1551-1603.

Sumber lainnya

Harijanti, S. D. (2013, Oktober 10). Perguruan tinggi hukum dan peningkatan kualitas calon hakim. Seminar “Sistem Rekruitmen Yang Tepat Untuk Menghasilkan Hakim Yang Ideal†Komisi Yudisial Republik Indonesia-Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Hukum Online. (2012, Mei 12). MA pertimbangkan sanksi dua hakim PN. Diakses dari https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4fa7aac4077e3/ma%20pertimbangkan%20sanksi%20dua%20 hakim%20pn/.

Kutigi, H. D. (2019, July 15). Ratio decidendi and judicial precedent. Kef : Nasarawa State University. Being A Paper Presented at the National Workshop for Legal and Research Assistants by and at the National Judicial Institute.

Mahkamah Agung RI. (2020, Maret 12). Ketua MA lantik 5 hakim agung dan 3 hakim ad hoc. Diakses dari https://www.mahkamahagung.go.id/id/berita/4047/ketua-ma-lantik-5-hakim-agung-dan-3-hakim-ad-h0c.

Diterbitkan

2022-02-03

Cara Mengutip

EKSISTENSI JALUR NON KARIER DALAM SELEKSI HAKIM AGUNG. (2022). Jurnal Yudisial, 14(2), 139-161. https://doi.org/10.29123/jy.v14i2.478

Artikel Serupa

Anda juga bisa Mulai pencarian similarity tingkat lanjut untuk artikel ini.