INFRA PETITA PUTUSAN PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI YANG MENEROBOS KETENTUAN PEMIDANAAN MINIMUM

Authors

  • Anshar Anshar Faculty of Law, Khairun University, Indonesia
  • Suwito Suwito Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Biak-Papua, Indonesia

DOI:

https://doi.org/10.29123/jy.v11i2.272

Keywords:

court decision, corruption, minimum penalty

Abstract

ABSTRAK

Penanganan perkara tindak pidana korupsi menganut sistem pemidanaan minimum bagi pelaku yang diputus bersalah oleh pengadilan. Istilah ketentuan pidana minimum khusus secara normatif diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada tataran praktiknya terdapat fenomena adanya putusan pengadilan yang menerobos sistem pemidanaan minimum yang dianut tersebut. Salah satu contoh putusan pengadilan yang ditelaah dalam tulisan ini adalah Putusan Nomor 2399 K/PID.SUS/2010. Permasalahan yang timbul adalah apa saja yang menjadi landasan infra petita hakim dalam menjatuhkan putusan yang menerobos ketentuan pemidanaan minimum dalam perkara tindak pidana korupsi tersebut. Metode dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan undang-undang. Penulis berkesimpulan bahwa putusan pengadilan tindak pidana korupsi yang menerobos ketentuan pemidanaan minimum dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada dasarnya diperbolehkan. Sepanjang putusan hakim yang infra petita tersebut memiliki esensi ratio legis yang kuat dan dapat dipertanggungjawabkan, atas dasar alasan pertimbangan nilai keadilan dan pertimbangan judex factie sebagaimana pada perkara a quo.

Kata kunci: putusan, korupsi, pemidanaan minimum.

 

ABSTRACT

In the handling of a corruption case, mandatory minimum penalty is adopted in the criminal justice system for the offender who was found guilty by the court. The term ‘mandatory minimum penalty’ is normatively regulated in Article 2 paragraph (1) of Law Number 31 of 1999, as amended to Law Number 20 of 2001 concerning Corruption Eradication. In practice there is a phenomenon of a court decision breaching the adopted mandatory minimum penalty. One example of a court decision analyzed hereon is the Decision Number 2399 K/PID.SUS/2010. The arising problem is what the consideration of the judge is for infra petita in imposing decision which breached the mandatory minimum penalty provision in that corruption case. This research uses normative legal research method with legislation approach. It can be concluded that it is basically permissible in the corruption court’s decision to breach the minimum penalty provisions as stipulated in the Corruption Eradication Law. Provided that the judge’s decision of infra petita, is based on strong legislation ratio and can be accounted for, on the basis of justice value and judex factie considerations as in the a quo case.

Keywords: court decision, corruption, minimum penalty.

References

Ali, A., & Heryani, W. (2012). Sosiologi hukum kajian empiris terhadap pengadilan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Anggraeni, R. (2011, Desember). Pengusungan pola pikir positivisme hukum dalam perkara korupsi (Kajian Putusan Nomor 207/PID.B/2008/ PN.MPW). Jurnal Yudisial, 4(3), 262-278.

Arief, B.N. (2002). Bunga rampai kebijakan hukum pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Arto. (2001). Mencari keadilan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Askin, M. (2012, November). Penerapan sanksi pidana dalam kasus tipikor. Varia Peradilan, XXVII(324), 38-50.

Bertens, K. (2013). Sejarah filsafat Yunani. Yogyakarta: Kanisius.

Budiman, M. (2016, Desember). Problematika penerapan Pasal 2 dan 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kajian Putusan Nomor 1283 K/PID.SUS/2013). Jurnal Yudisial, 9(3), 303-315.

Chazawi, A. (2014). Hukum pidana materiil & formil korupsi di Indonesia. Malang: Bayu Media Publishing.

Friedrich, C.J. (2004). Filsafat hukum perspektif historis. Bandung: Nuansa & Nusamedia.

Huda, C. (2011). Dari tiada pidana tanpa kesalahan menuju kepada tiada pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan, tinjauan kritis terhadap teori pemisahan tindak pidana & pertanggungjawaban pidana. Jakarta: Kencana.

Marzuki, P.M. (2010). Penelitian hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Melani. (2014, Agustus). Disparitas putusan terkait penafsiran Pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kajian Terhadap 13 Putusan Pengadilan Tipikor Bandung Tahun 2011-2012). Jurnal Yudisial, 7(2), 103-116.

Mertokusumo, S. (2010). Penemuan hukum. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Press.

Mulyadi, L. (2007). Tindak pidana korupsi di Indonesia, normatif, teori, praktik & masalahnya. Bandung: Alumni.

Pryhantoro, E.H. (2016). Korupsi dalam perspektif teori sosial kontemporer. Surabaya: Agra Vidya.

Rumadan, I. (2013, Desember). Penafsiran hakim terhadap ketentuan pidana minimum khusus dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Jurnal Hukum dan Peradilan, 2(3), 379-404.

Sjahdeini, S.R. (2007). Pertanggungjawaban pidana korporasi. Jakarta: Grafiti Pers.

Soekanto, S., & Mamudji, S. (2011). Penelitian hukum normatif. Jakarta: Rajawali Pers.

Suwito et al. (2017, Agustus). Deviation on special minimum criminal provision in the verdict of corruption court. International Journal of Humanities and Social Science Invention, 6(8), 14-21.

Suwito. (2015, April). Putusan hakim yang progresif dalam perkara perdata, telaah “Kasus Pohon Manggaâ€. Hasanuddin Law Review, 1(1), 101113.

______. (2017, September). Putusan pengadilan tindak pidana korupsi yang menerobos ketentuan pidana minimum khusus sebagai bentuk penemuan hukum oleh hakim. Khairun Law Journal, 1(1), 48-61.

Van Apeldoorn, L.J. (2011). Pengantar ilmu hukum. Jakarta: Pradnya Paramita.

Downloads

Published

2018-08-30

How to Cite

Anshar, A., & Suwito, S. (2018). INFRA PETITA PUTUSAN PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI YANG MENEROBOS KETENTUAN PEMIDANAAN MINIMUM. Jurnal Yudisial, 11(2), 151–170. https://doi.org/10.29123/jy.v11i2.272

Citation Check