PENALARAN HAKIM TENTANG PENYERTAAN TINDAK PIDANA DALAM KASUS KORUPSI PENGADAAN VIDEOTRON

M. Musa, Heni Susanti

Abstract


ABSTRAK

Hakim menggunakan dua jenis ajaran penyertaan dalam melakukan penalaran perluasan pemidanaan. Ajaran pertama memperluas pemidanaan terhadap orang (strafausdehnungsgrund) yang menitikberatkan pertanggungjawaban seseorang terhadap tindak pidana penyertaan. Ajaran kedua memperluas pemidanaan terhadap perbuatan (tatbestandausdehnungsgrund) yang memandang suatu perbuatan sebagai delik dalam penyertaan. Ketentuan norma penyertaan dalam KUHP menjadi persoalan dalam penegakan hukum Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi karena menimbulkan diskrepansi hakim dalam menerapkan perluasan pemidanaan dari penyertaan tindak pidana. Penelitian ini mengkaji penalaran hakim terhadap ajaran penyertaan dalam memperluas pemidanaan pada putusan penyertaan tindak pidana korupsi. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif atau hukum doktrinal karena menggunakan sumber data sekunder yaitu putusan pengadilan/studi kasus tindak pidana korupsi pengadaan videotron di Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah. Data diverifikasi dengan wawancara terhadap hakim, jaksa, advokat, dan ahli hukum serta dengan melakukan diskusi kelompok terpumpun untuk mengetahui taraf sinkronisasi hukum dari putusan yang ada. Hasil penelitian menunjukkan adanya dua variasi penalaran hakim terhadap ajaran penyertaan dalam menentukan perluasan pemidanaan pada putusan penyertaan tindak pidana korupsi. Putusan-putusan pengadilan dari hakim judex facti menentukan perluasan pemidanaan didasarkan pada pandangan perluasan pemidanaan terhadap perbuatan. Penyertaan dipandang sebagai persoalan perbuatan pelaku adalah tindak pidana yang harus dipertanggungjawabkan berupa pemidanaan. Putusan-putusan dari hakim judex juris memandang penyertaan tindak pidana sebagai persoalan pertanggungjawaban untuk memperluas dapat dipidananya seseorang. Putusan-putusan hakim judex facti telah menimbulkan disparitas pemidanaan terhadap peserta tindak pidana.

Kata kunci: penalaran hakim; tindak pidana korupsi; penyertaan; perluasan pemidanaan.


ABSTRACT

Judges use two concepts of complicity in legal reasoning related to sentence expansion. The rst concept expands the punishment of a person (strafausdehnungsgrund), emphasizing a person’s responsibility for complicity. The second concept expands the punishment of an act (tatbestandausdehnungsgrund), viewing it as an offense in complicity. The provisions of the complicity norm in the Criminal Code are a problem in law enforcement of the Anti-Corruption Law because it creates judges’ discretion in implementing the expansion of sentences of complicity. This study discusses the judges’ reasoning on complicity regarding the expansion of sentences of complicity in a corruption case. This study is normative legal research or doctrinal law using secondary data sources, speci cally court decisions/case studies of corruption crime in videotron procurement at the Ministry of Cooperatives and Small-Medium Enterprises. The data were veri ed by interviewing judges, prosecutors, advocates, and legal experts and by conducting a focus group discussion to determine the level of legal synchronization of existing court decisions. The study exhibits two variations of judges’ legal reasoning in determining the expansion of sentences in the decisions on complicity in a corruption case. Judex facti judges’ decisions determine the extension of sentences adhering to the view of expanding punishment for acts. Complicity is perceived as the accomplices’ actions are criminal acts taking the same degree of guilt and punishment. Judex juris judges’ decisions view complicity as a matter of liability to expand a person’s conviction. The judex facti decisions create a disparity of sentences for the accomplices.

Keywords: judges’ legal reasoning; corruption crime; complicity; sentence expansion.



Keywords


judges’ legal reasoning; corruption crime; complicity; sentence expansion

Full Text:

PDF PDF

References


Buku

Agus, A. (2014). Etika dan tanggung jawab profesi hukum. Pekanbaru: Unri.

Al-Attas, S. M. N. (1995) Islam and philosophy of science. Terjemahan Muzami, S. Bandung: Mizan.

Alatas, S. H. (1983). Sosiologi korupsi: Sebuah penjelajahan dengan data kontemporer. Jakarta: LP3ES.

Arief, B. N. (2005). Beberapa aspek kebijakan penegakan hukum dan pengembangan hukum pidana. Bandung: PT Citra Adtya Bakti.

__________. (2015). Sari kuliah hukum pidana lanjut. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Chaerudin, Dinar A. D., & Fadillah, S. (2011). Strategi pencegahan dan penegakan hukum tindak pidana korupsi. Bandung: Aditama.

Chazawi, A. (2005). Hukum pidana materiil dan formil korupsi di Indonesia. Malang: Bayumedia Publishing.

Dimyati, K. (2014). Pemikiran hukum konstruksi epistemologis berbasis budaya hukum Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing.

Fajar, M., & Achmad, Y. (2013). Dualisme penelitian hukum, normatif dan empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Friedman, L. M. (2001). Hukum Amerika: Sebuah pengantar. Terjemahan dari American Law An Introduction, 2nd Edition. Basuki, W. (Ed.). Jakarta: Tatanusa.

Hamzah, A. (2012). Pemberantasan korupsi melalui hukum pidana nasional dan internasional. Jakarta: Rajawali Pres.

Ibrahim, J. (2005). Teori dan metodologi penelitian hukum normatif. Surabaya: Bayu Media.

________. (2007). Teori, metode dan penelitian hukum normatif. Jawa Timur: Bayumedia Publising.

Ilyas, A. (2016). Kumpulan asas-asas hukum. Jakarta: Rajawali Press.

Lamintang, P. A. F. (1997). Dasar-dasar hukum pidana Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Margono. (2012). Asas keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum dalam putusan hakim. Jakarta: Sinar Grafika.

Nurdjana, I. G. M., Prasetyo, T., & Sukardi. (2015). Korupsi dan illegal loging. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Podo, S. P. H., et al. (2013). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Media Pustaka Phoenix.

Rahardjo, S. (2006). Membedah hukum progresi. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.

Sadiman, A. S., et al. (2009). Media pendidikan, pengertian, pengembangan, dan pemanfaatannya. Jakarta: Rajawali Press.

Sugiyono. (2009). Metode penelitian kualitatif, kualitatif dan R&DD. Bandung: Remaja Rosdakarya.

________. (2011). Metode penelitian kuantitaif dan kualitatif. Jakarta: Alfabeta.

Suratman & Dillah, P. (2012). Metode penelitian hukum. Jakarta: Alfabeta.

Van Peursen, C. A. (1988). Tubuh jiwa roh: Sebuah pengantar dalam lsafat manusia. Diterjemahkan Bartens, K. dari buku Lichaam – Ziel – Geest; Inleiding tot een Wijsgerige Antropologie. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.

Wilardjo, L. (1990). Realita dan desiderata. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Jurnal

Bola, M., Librayanto, R., & Arisaputra, M. I. (2015, April). Korelasi putusan hakim tingkat pertama, tingkat banding, dan tingkat kasasi (Suatu studi tentang aliran pemikiran hukum). Hasanuddin Law Review, 1(1), 27-46.

Juanda, E. (2017). Penalaran hukum (legal reasoning). Jurnal Ilmiah Galuh Justisi, 5(1), 157-167.

Susanti, H., & Fransista, F. A. (2019, Desember). Dissenting opinion dalam menentukan batas umur anak. Jurnal Yudisial, 12(3), 345-361.

Sumber lainnya

Arief, B. N. (2009, Mei 19). Pembangunan sistem hukum Pancasila. Kuliah Umum Program Magister Ilmu Hukum Pasca Sarjana UBH Padang.

Attamimi, A. H. S. (1990). Peranan keputusan Presiden Republik Indonesia dalam penyelenggaraan pemerintahan negara; Suatu studi analisis mengenai keputusan presiden yang berfungsi pengaturan dalam kurun waktu Pelita 1- Pelita IV. Disertasi. Jakarta: Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia.

Shidarta. (2019, September 7). Menilik kepantasan labelisasi Pancasila sebagai staatsfundamentalnorm dalam sistem hukum Indonesia. Kuliah umum pada Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Riau Pekanbaru.




DOI: http://dx.doi.org/10.29123/jy.v15i1.529

Refbacks

  • There are currently no refbacks.


Copyright (c) 2022 Jurnal Yudisial

Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.