KEWENANGAN LEMBAGA PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH
DOI:
https://doi.org/10.29123/jy.v12i2.256Keywords:
competence, sharia banking, Constitutional CourtAbstract
ABSTRAK
Sejak diamandemennya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, kompetensi absolut peradilan agama diperluas. Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah memperkuat kewenangan peradilan agama dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Polemik muncul ketika Penjelasan Pasal 55 ayat (2) juga memberikan kewenangan kepada peradilan umum menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Masalah ini lalu diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Menurut Mahkamah Konstitusi, Penjelasan Pasal 55 ayat (2) bertentangan dengan UUD NRI RI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Putusan Mahkamah Konstitusi masih menimbulkan perdebatan karena hanya menghapus Penjelasan Pasal 55 ayat (2), bukan menghapus pasalnya. Permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah lembaga peradilan manakah yang berwenang menyelesaikan sengketa perbankan syariah pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012? Penelitian ini menggunakan metodologi penelitian yuridis normatif. Penelitian ini menyimpulkan bahwa Putusan Nomor 93/PUU-X/2012 terkait kewenangan penyelesaian sengketa perbankan syariah dianggap sudah tepat, memutuskan bahwa penyelesaian sengketa perbankan syariah harus melalui peradilan agama sesuai dengan kompetensi absolutnya. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut telah menghilangkan dualisme penyelesaian sengketa perbankan syariah.
Kata kunci: kompetensi, perbankan syariah, Mahkamah Konstitusi.
Â
ABSTRACT
Since the amendment of Law Number 7 of 1989 concerning Religious Courts with Law Number 3 of 2006, the absolute competence of religious courts was, expand. Article 55 of Law Number 21 of 2008 concerning Sharia Banking strengthens the authority of the religious court in resolving sharia banking disputes. Polemic arises when the elucidation of Article 55 paragraph (2) also allowed the general court to resolve sharia banking disputes. This issue then submitted by judicial review to the Constitutional Court. According to the Constitutional Court, elucidation of Article 55 paragraph (2) is contrary to the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia and has no binding legal force. The Constitutional Court Decision still raises debate because it only removes the elucidation of Article 55 paragraph (2), instead of deleting the article. The issues that will discuss in this paper are which judicial institution has the authority to settle sharia banking disputes after the Constitutional Court Decision Number 93/PUU-X/2012? This research uses a normative juridical research methodology. This research concludes that Constitutional Court Decision Number 93/PUU-X/2012 related to the authority to settle sharia banking disputes considered appropriate decides that the settlement of sharia banking disputes must go through religious courts by its absolute competence. The Constitutional Court's decision has eliminated dualism in the settlement of sharia banking disputes.
Keywords: competence, sharia banking, Constitutional Court.
References
Anshori, A.G. (2009). Hukum perbankan syariah (UU No. 21 Tahun 2008). Bandung: PT Refika Aditama.
Arifin, Z. (2000). Memahami bank syariah: Lingkup, peluang, tantangan & prospek. Jakarta: AlvaBet.
Harahap, Y.M. (2001). Kedudukan kewenangan & acara peradilan agama UU No. 7 Tahun 1989. Jakarta: Sinar Grafika.
Hasan, H.H. (2010). Kompetensi peradilan agama dalam penyelesaian perkara ekonomi syariah. Jakarta: Gramata Publishing.
Manan, A. (2016). Kebijakan MA-RI menyambut ekonomi syariah sebagai kompetensi peradilan agama. Kuliah Umum tentang Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia: Peluang dan Tantangan. Diadakan oleh Jurusan Business Law, Binus University.
Muda, I. (2016, April). Penafsiran hukum yang membentuk keadilan legal dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah: Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012. Jurnal Yudisial, 9(1), 37-50.
Mujahidin, A. (2010). Kewenangan & prosedur penyelesaian sengketa ekonomi syariah di Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia.
Pramono, N. (2015). Konsekuensi hukum akad yang mencantumkan pilihan hukum penyelesaian sengketa syariah pasca putusan MK No. 93/2012 dikaitkan dengan Pasal 1338 Kuhpdt. Paper dipresentasikan pada Seminar Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah dengan Nasabah Pasca Putusan MK Terkait Pasal 55 Ayat 2 UU Perbankan Syariah. Jakarta: Hotel Sahid.
Rasyid, A. (2015b). Penyelesaian sengketa bisnis di luar pengadilan. Dalam Shidarta, Rasyid, A., & Sofian, A. (Eds). Aspek hukum ekonomi & bisnis. Jakarta: Binus Media & Publishing.
________. (2015a). Hukum perbankan syariah di Indonesia. Diakses dari http://business-law.binus.ac.id/2015/06/02/hukum-perbankansyariah-di-indonesia/
Rasyid, R.A. (1998). Hukum acara peradilan agama. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Rusyad, A. (2018). Wawancara pada tanggal 27 Juni 2018 di Universitas Bina Nusatara.
Sjahdeini, S.R. (2000, Agustus-September). Perbankan syariah suatu alternatif kebutuhan pembiayaan masyarakat. Jurnal Hukum Bisnis, 20, 8-15.
____________. (2014). Perbankan syariah: Produk-produk & aspek-aspek hukumnya. Jakarta: Kencana.
Soejono & Abdurahman, H. (2003). Metode penelitian hukum. Jakarta: Rineka Cipta.
Suadi, A. (2017). Penyelesaian sengketa ekonomi syariah: Teori & praktik. Jakarta: Kencana.
Usman, R. (2013). Pilihan Penyelesaian Sengketa di luar pengadilan. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Yasardin, (2018). Wawancara pada tanggal 15 November 2018 di Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Downloads
Additional Files
Published
How to Cite
Issue
Section
Citation Check
License
FORMULIR COPYRIGHT TRANSFER
Naskah ini asli dan penulis mengalihkan Hak Cipta naskah di atas kepada Jurnal Yudisial, jika dan ketika naskah ini diterima untuk dipublikasikan.
Setiap orang yang terdaftar sebagai penulis pada naskah ini telah berkontribusi terhadap substansi dan intelektual dan harus bertanggung jawab kepada publik. Jika di masa mendatang terdapat pemberitahuan pelanggaran Hak Cipta merupakan tanggung jawab Penulis, bukan tanggung jawab Jurnal Yudisial.
Naskah ini berisi karya yang belum pernah diterbitkan sebelumnya dan tidak sedang dipertimbangkan untuk publikasi di jurnal lain.